♥♥♥
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia
mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang,
hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi
bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan
Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama
herannya. Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat
undangan. Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin
menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di
kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu. Tiba-tiba
saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali
beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua
menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik
nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil
dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi
kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara
mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania
menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania
dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi
ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta
buntut mereka. Kamu pasti bercanda! Nania kaget. Tapi melihat senyum
yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak
nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania
menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda. Suasana
sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita
melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli
memang melamarnya. Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya
tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik! Nania
tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda
baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu
berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh
selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya
pesakitan.
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif
bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa
saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya,
toh? Nania terkesima. Kenapa? Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang
busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris,
juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah.
Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar
biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu
mau! Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa,
kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian
mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di
kelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka,
melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai
stadium empat. Parah. Tapi kenapa? Sebab Rafli cuma laki-laki biasa,
dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa,
dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara
tua Nania mencoba membuka matanya. Tak ada yang bisa dilihat pada dia,
Nania! Cukup! Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran
duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana
iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan
seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli.
Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya.
Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli
tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan
yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan
nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia. Mereka akhirnya
menikah.
***
Setahun pernikahan. Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih
sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat
dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan
kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka. Nania hanya
merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia
meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat
bahagia. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada
Nania. Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara
Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang
tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik,
pintar, dan punya kehidupan sukses! Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya
siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak
boleh meremehkan Rafli. Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu
argumen. Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak! Betul. Tapi dia juga tidak
ganteng kan? Rafli juga pintar! Tidak sepintarmu, Nania. Rafli juga
sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak
sepertimu. Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya,
bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi
percuma. Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan,
kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu. Teganya kakak-kakak
Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan
sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti.
Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan
satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah
mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania
lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika
Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup,
maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang. Nania tak bermaksud
menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya
yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus
pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti
kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia! Pertanyaan kenapa dia
menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa,
tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan- alasan
menjadi tidak penting. Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania
di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania
besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di
dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan
bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan
dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama. Sungguh
beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik ya? dan kaya! Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi
Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan
perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari
puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama
kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat
Nania menangis.
***
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu
dari waktunya. Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania.
Harus segera dikeluarkan! Mula-mula dokter kandungan langganan Nania
memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan
kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat
sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan
segera melihat si kecil. Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur
Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu
meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi
tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun
yang datang. Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam
setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan.
Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga
menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali. Baru pembukaan satu. Belum
ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat
jam kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan.
Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor
yang tinggi. Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika
pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia
sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah.
Perkiraan mereka meleset. Masih pembukaan dua, Pak! Rafli tercengang.
Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup
lagi ditanggungnya.
Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa
ditelannya. Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri
memperjuangkan dua kehidupan. Dokter? Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin
terlilit tali pusar. Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa
tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat? Mereka
berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena
Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar
operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat
ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan
dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam
perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun.
Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di
sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian
dia tak sadarkan diri. Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli
bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir. Seorang
dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat. Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada
varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah!
Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania yang
baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania
menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka. Rafli seperti berada
dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada
rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa
dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker. Setelah itu adalah
hari-hari penuh doa bagi Nania.
***
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari
kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan
juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi
itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak
sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang. Mama, Papa, dan
ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit,
sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak
banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan
Rafli. Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan
rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak
perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh,
dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran
kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU.
Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili
mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap
dan bercanda mesra.. Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa
merasakan kehadirannya. Nania, bangun, Cinta? Kata-kata itu
dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening
istrinya yang cantik. Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga
mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang
setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam
tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan
Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan.
Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya
berbisik, "Nania, bangun, Cinta?" Malam-malam penantian dilewatkan Rafli
dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi
soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di
bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di
sekitarnya, bagi Rafli.Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania.
Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang
lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin
kurus akibat sering lupa makan. Ia ingin melihat Nania lagi dan semua
antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta
gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur
terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah
penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu
lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke
dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi. Rafli membuktikan kata-kata
yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah
lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan
menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu.
Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah
dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku
Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur.
Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur.
Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan
itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh? Tapi
Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu
meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan
paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli. Setiap
hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama
itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran,
nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti
juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu
bertahun-tahun. Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan
orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba,
lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke
sana kemari.
Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di
jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas
hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua
berbisik-bisik. Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari
perempuan kedua! Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima
dia apa adanya. Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat
bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka
masam! Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang,
Papa dan Mama. Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat
Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang
di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan
selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah
mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua,
anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati,
kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak
berfungsi sempurna.
Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut
takdir dari tangannya. Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar
biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.